Selasa, 18 Februari 2014

News : PMI DKI Tolak RUU Kepalangmerahan Rubah Logo

News : PMI DKI Tolak RUU Kepalangmerahan Rubah Logo

JAKARTA- DPR sebentar lagi akan segera menyetujui disahkannya Rancangan Undang-Undang Kepalangmerahan. Meski dimikian, pengesahan RUU tersebut akan menemui berbagai kendala. Pasalnya, RUU sangat kontroversial dan disinyalir banyak kepentingan, dibandingkan RUU lainnya, khususnya di dunia kerelawanan Indonesia.
Menurut Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) DKI Jakarta, Rini Sutiyoso mengatakan, didalam RUU tersebut berisi beragam hal yang terperinci untuk mendukung kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah Indonesia (PMI).
Tetapi pada akhirnya, RUU yang diajukan pada tahun 2005 ini berisikan mengenai teknis spesifikasi pemakaian Lambang Palang Merah dan merupakan kelanjutan dari ratifikasi Konvensi Jenewa yang mewajibkan setiap negara memilki satu lambang kemanusiaan untuk perhimpunan nasionalnya agar dalam suatu konflik perhimpuan nasional ini dilindungi dari serangan senjata.
"Lambang yang diperkenankan dalam konvensi tersebut adalah lambang Palang Merah (Red Cross), Bulan Sabit Merah (Red Crescent), dan Kristal Merah (Red Cristal).
Sumber : satuNews.com Tapi, dari isi RUU ini banyak sekali yang pada akhirnya menuai kontroversi. Dari mulai pengenaan sanksi bagi setiap yang menyalahgunakan lambang palang merah, hingga kekuatan yuridis RUU ini nantinya yang akan dapat menggeser organisasi kemanusiaan lain selain PMI," terangnya kepada wartawan di perhelatan Temu Karya PMI yang di gelar di Bumi Perkemahan Mandala Kitri, Cobodas, Senin (15/10)
Menurutnya, dalam RUU ini diatur penggunaan Lambang Palang Merah yang memiliki sanksi pidana terhadap pelanggarnya, tentu akan menjadi dilema tersendiri.
Karena masyarakat sudah terlanjur mengenal Lambang Palang Merah sebagai lambang umum pengenal segala kegiatan yang berhubungan dengan medis seperti dipakainya dalam lambang rumah sakit, logo obat-obatan, kegiatan medis suatu partai, dan sebagainya.
Dengan adanya RUU ini jika nantinya disahkan menjadi UU, jelas akan berdampak signifikan dalam kehidupan masyarakat, khususnya di bidamg medis. Banyaknya lambang dan logo yang harus diganti dan paradigm Lambang Palang Merah dalam masyarakat harus diubah.
"Tapi, yang lebih membuat kontroversial lagi adalah kekuatan yuridisnya yang akan menghapus berbagai organisasi kemanusiaan selain PMI yang menggunakan lambang sesuai Konvensi Jenewa karena Indonesia nantinya -dalam RUU ini- akan hanya memiliki satu lambang kemanusiaan, yakni Palang Merah yang dimiliki oleh Palang Merah Indonesia (PMI).
Jelas, beberapa organisasi kemanusiaan yang menggunakan Lambang sesuai Konvensi Jenewa selain PMI merasa hal ini merupakan bentuk monopoli PMI dan bentuk diskrimasi pemerintah terhadap organisasi kemanusiaan lainnya yang menggunakan lambang dalam Konvensi Jenewa tersebut.
"Padahal, di Indonesia ada banyak organisasi kemanusiaan yang menggunakan lambang Konvensi Jenewa ini, untuk itu, perubahan lambang yang akan diatur dalam UU harus di tolak," tandasnya.
Penggunaan lambang kemanusiaan sesuai dengan kultur bangsa tersebut adalah hal yang wajar. Karena kemanusiaan tersebut identik dengan manusia dalam masyarakat itu sendiri yang memilki kultur masing-masing.

" Sebetulnya DPR tak pantas membahas lambang kemanusiaan apa yang sebaiknya dipakai oleh Indonesia karena Lambang Palang Merah dan Lambang Bulan Sabit Merah, karena kedua lambang tersebut memiliki kelebihannya masing-masing," jelasnya.
Untuk permasalahan RUU ini sendiri, kata Istri mantan Gubernur DKI Jakarta ini, terdapat beberapa opsional solusi atas semuanya. Pertama, dibatalkannya RUU LPM ini dan membiarkan Lambang-lambang dalam Konvensi Jenewa tersebut tetap eksis masing-masing tanpa perlu dimonopoli oleh satu pihak.
Kedua, tetap diadakannya UU tentang Lambang Kemanusiaan dengan mengakomodir dan mengesahkan dua lambang kemanusiaan yang eksis di Indonesia ini, yakni Lambang Palang Merah dan Lambang Bulan Sabit Merah dengan mengesahkan dua perhimpunan nasional yang ada.
Ketiga, tetap disahkan UU Lambang Palang Merah ini tapi tidak menghapus organisasi lain yang menggunakan lambang di Konvensi Jenewa tersebut.
"Itu semua hendaknya, perlu ada kebijakan dari Pemerintah maupun DPR mengenai permasalahan RUU Lambang Palang Merah ini agar nantinya RUU ini tidak menjadi sumber masalah baru dan konflik dalam masyarakat, khususnya dalam bidang kemanusiaan. Karena pada prinsipnya, organisasi-organisasi kemanusiaan ini selalu dibutuhkan oleh masyarakat luas. Jadi, kebijakan dalam hal ini berarti juga mempengaruhi kebutuhan masyarakat luas," ucapnya.
Seperti di beritakan sebelumnya, Meski berbagai penolakan datang dari berbagai eleman kemanusiaan, Badan Legislatif (Baleg) DPR telah menjadikan RUU Kepalangmerahan yang merupakan inisiatif dari DPR, tetap ngotot untuk segera disetujui dan disahkan.
Dalam RUU Kepalangmerahan, berisi sebanyak 56 pasal dan 10 bab. Dari sebanyak 10 bab itu, terdapat dua bab yang membahas secara detail atau terperinci mengenai Palang Merah Indonesia.
DPR berpandangan, RUU Kepalangmerahan itu dinilai merupakan sesuatu hal yang penting sebagai dasar hukum yang lebih kuat lagi untuk mendukung beragam aktivitas kemanusiaan PMI.
Mungkin banyak masyarakat tidak tahu bahwa di komisi III DPR RI sekarang ini sedang dibahas Rancangan Undang-Undang tentang Lambang Palang Merah (RUU LPM). Apalagi di tengah banyaknya masalah yang menimpa bangsa ini, berita mengenai perkembangan RUU ini jarang sekali di dengar di media massa. (RW-12)

Source : http://www.pmi-jakarta.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar